Minggu, 07 November 2010

Lagu Untukmu

Ayu mengeluh panjang untuk kesekian kalinya. Bibir mungilnya yang tipis dan sedikit meruncing, di dahinya muncul guratan – guratan halus. Tangannya tak henti mengetuk – ngetuk meja kafe memperdengarkan irama yang bersenandung merdu dari ipod kesayangannya.

“Aku pulang!” ketus Ayoe tiba – tiba.

“Ayu!” cegah farhan. “Sabar dikit dong.”

“Suda hampir setengah jam kita nungggu di sini, farhan cakeeeeeeeeep.”

“ Iya, tapi aku berani jamin kalau Dika bakalan datang. Dia pasti lagi di jalan, mungkin macet Yu..”

”Lagian.” gerutu Ayu, ”Kenapa sih harus janjian di kafe pinggir jalan begini? Udah enggak gaul, kumuh, bau lagi. Lihat tuh, tendanya kecil banget, dan pastinya makanannya enggak higenis . Entar kalau aku diare apa dia mau ngobattin ?.Lagian tumben Dika janjian di kafe norak begini.”

“Kita ngumpul disini supaya dia mudah menemukan kita,” jelas Oustin dengan sabar. “ Jadi begitu dia datang kita langsung cabut.”

“Repot banget sih, kita kan masing-masing punya mobil. Sepakati saja tempat tujuan kita, lalu bawa mobil sendiri kesana, bereskan.”

“Aduuuuh berapa sih, uang parkir? Kubayarin deh, untuk tiga mobil, kalau perlu setahun! Atau kalau kurang, halaman parkirnya kita kontrak sekalain!”

Poustin tidak bersuara lagi. Ayoe sulit di bujuk. Posisi anak tunggal dalam sebuah keluarga yang sangat mapan membuat gadis ini tidak bisa lepas dari sifat childish-nya : egois, keras kepala, tukang ngambek, cepat tersinggung, harus selalu dituruti, dan bla bla bla.

‘Lagunya, Mbak?”

Dua pasang mata berpaling. Seorang pemuda sebaya mereka, tersenyum manis sambil memetik senar – senar gitar. Kepalanya mengangguk sopan.

“Bisa lagu apa?” tanya Ayu agak kasar.

Yang di tanya menoleh, menatap sang penanya bersuara ketus. Mata mereka bertemu beberapa detik, dan saat itu...
Ayoe terpaku. Dadanya bergemuruh hebat, desir – desir aneh melintas. Dia ingin berpaling, namun tak mampu. Sepasang mata hitam di depannya begitu teduh, hangat, ramah. Mata yang sangat hidup.

“Boleh minta lagu apa saja, mudah-mudahan saya bisa.”

Tak ada sahutan.

“ Yu? Ayu!”
Gadis itu tersadar oleh tepukan farhan, terbangun dari keterpanaannya. Dengan mata memanas, dia bertanya, Emhh..., tahu lagu Christian Bautista?”

“Yang mana nih, ‘Because of You’ atau ‘Colour every Where’?”
“ Dua – duanya.”
Beberapa detik kemudian, terlantun bait – bait indah ‘Because of You’. Lagi – lagi Ayu terpana. Suara iru.. edikit pun tak jauh beda dengan pemilik aslinya. Agak serak, tapi oke banget. Dipandanginya sosok yang sangat sederhana di depannya, debar – debar asing kembali menjalari dadanya.

Ayoe mengedipkan mata berulang – ulang kali saat menyadari tembang pertama telah usai. Diangkatnya tangan, memberi isyarat untuk memainkan lagu kedua.
Tanpa sadar, bibir mungilnya ikut menyenandungkan bait demi bait lagu ‘Colour Every Where’. Sama seperti tadi, Ayu tidak segera bereaksi setelah suara gitar berhenti.

Sang pengamen mengulas senyum untuknya, buru – buru dia memalingkan wajah, lantas dengan gugup merogoh tas tangan. Dari sebuah dompet, dikeluarkannya selembar uang dua puluh ribu.

Si cowok mundur melangkah.

“Kenapa?” tegur Ayu seraya mengerutkan dahi.

“ S- sya.. nggak punya kembaliannya.”

“ Siapa bilang saya minta kembalian?”

“Tapi mbak, itu terlalu besar untuk dua lagu,”

“ Kamu menyanyikan lagu kesayangan saya dengan sangat bagus, anggap saja ini hadiah kekaguman,” puji Ayu tulus, membuat Oustin terbengong.

“Saya tetap nggak bisa terima, Mbak terlaslu...” Pada saat itu terdengar klakson mobil di bunyikan dua kali.

“Yu. Dika tuch,” lapor Farhan“ Cabut yuk!”

Ayu nggak peduli. “ Baik kalu begitu nyanyikan dua lagu lagi untukku.”

“ Yu gimana sih, tadi katanya..”

“ Biar gantian dia yang nunggu,” potong Ayu, lalu beralih pada cowok yang masih tampak serba salah. “ayo dua lagu lagi kali ini terserah kamu.”

‘I Belive My Heart’ milik Duncan James terlantun merdu. Ayu mendengarkan dengan antusias, tanpa sedikitpun menoleh pada Dika yang sudah berdiri disampingnya. Dika yang merasa bersalah, akhirnya memilih diam dan menunggu.

“Bisa kita pergi sekarang, Yu?” tanya Dika pelan, ketika lagu pertama selesai dinyanyikan.
“Satu lagi,” kata Ayu tanpa memperdulikan Dika.

“ Emhh.. boleh bawain lagu ciptaan saya sendiri?”
“Terserah, pokoknya bagus.”

Ayu merasa sesuatu yang aneh merambati seluruh pembuluh darahnya ssat mendengar bait-bait syahdu yang terlantun beberapa waktu kemudian.


jika rindu datang mencabik kesepianmu
jika kangen memenuhi mimpi malammu
jangan biarkan asamu menjauh
bacakan sajakku ketika purnama berkalang
dan mega menepi

sayup akan kudengar lagu
menyeruak jendela kamarmu
itulah lagu untukmu
dari hati yang telah mengasihimu


Tiga pasang tangan spontan bertepuk begitu dia selesai bernyanyi. Meski agak kesal, Dika harus mengakui kalau lagu itu benar – benar bagus. Kata – katany sederhana, tapi meresap di jiwa.

“ Oke tugasmu selesai,” kata Ayu, kembali mengulurkan lembaran di tangannya. “ Jangan di tolak lagi, aku bisa marah.”
Pemuda itu mengambil dengan gerakkan ragu – ragu. “Teerima kasih.”

“ Tunggu. Lagu tadi, judulnya ap?”

“Lagu Untukmu.”

Ayu memandangi punggung sang pemuda sampai lenyap dari pandangan. Semangatnya langsung hilang sebahagian. Dia ogah – ogahan saat Dika menggandeng tangannya menuju BMW warna perak.

* * *

Ayu menekan tombol bicara pada ponselnya.
“ Kamu dimana?” tanya sebuah suara dari seberang sana. “Kata Tante, kamu sudah keluar sejak pagi, tapi nggak ada di kampus. Aku tanya ma Farhan, dia juga nggak tau.”

“Ada apa sih emangnya..?”

“Aku cuma pengen ketemu. Kan udah tiga hari kita nggak ketemu. Kamu kemana aja sih?”Kenapa enggak...”

“ Dika,” putus Ayu, “Berhentilah mengkhawatirkan dan menjagaku. Antara kita kan nggak ada hubungan apa – apa, aku bebas pergi kemanapun aku suka.”

“Maksudnya?. Jadi selama ini hubungan kita apa....?”
“Cuman teman. Kalau kamu tersinggung, apa boleh buat, aku nggak pernah bilang bersedia jadi pacarmu.”

“ Tega sekali, aku fikir selama ini...”

“ Salahmu sendiri. Aku nggak akan minta maaf kalau sekarang kamu kecewa karena kege-eranmu sendiri. Oke, Dika, aku sedang sibuk, kita ngobrol lain kali. Bye!” Ayu menutup telfon tanpa menunggu respon dari Dika.

“ Pacarmu?” tegur cowok di depannya.

Ayu mencibirkan bibir mungilnya. “Lebih tepat disebut orang yang sok merasa jadi pacarku. Dika terlalu penurut, apapun yang aku minta selalu di penuhinya.”

“Bukankah itu menyenangkan?”

“ Tidak lagi, karena buatku itu pertanda cowok lemah,” sungut Ayu. “Sudahlah, aku nggak mau bicara soal Dika. Aku kesini untuk bertemu denganmu.”

“ Oke kita sudah ketemu, sekarang apa?”

“ Aku ingin mendengar lagu itu lagi.”

Segera, sang pengamen yang membawakan empat lagu untuknya minggu lalu, tersenyum lembut. Saat ini mereka duduk berhadapan di kafe pinggir jalan yang pernah membuat Ayu ‘gerah’, kafe yang dikatakannya kumuh dan bau. Setelah sore mengesankan itu, Ayu malah rutin nongkrong di sana – hanya untuk ketemu Hafiz.

“ Itu lagu picisan, Yu,” kata Hafiz merendah.

“ Biarin pokoknya aku suka.”

“ Sudah seminggu ini kamu terus meminta aku menyanyikanya.”

“ Apa nggak boleh?”

“ Boleh sih, apa lagi kamu selalu ngasih tip yang lumayan. Terus terang, aku sangat terbantu dengan kemurahan hatimu.”

“ Aku senang bisa membantu.”

“ Kalau boleh aku tahu, apa yang istimewa dari tempat ini? Gadis cantik dan kaya sepertimu lebih cocok nongkrong di kafe mewah. Tempat ini kecil, kotor, berdebu.”

“ Ayu membuang pandang, menghindari mata hafiz. Tentu saja dia tak mungkin berterus-terang bahwa kedatangannya karena dia ingin bertemu cowok itu. Rasanya di jatuh hati.

“ Sudah, aku ingindengar lagu-mu.”

“Hafiz mengedikkan bahu. Jari – jarinya mulai menarilincah pada senar gitar,menembangkan ‘Lagu Untukmu’ buat yang kesekian kalinya dengan penuh perasaan. Ayu mengamati pengamen muda dengan mata berbinar. Lagi – lagi dalam dadanya melintas debar asing, aneh dan menyenangkan. Debaran itu bertambah keras setiap hari.

“ Kulihat kamu begitu menghayatinya,” selidik Ayu setelah cowok itu selesai bernyanyi.

“ Memang karena aku sangat menyukainya.”

“ Kenapa?”

“ Lagu ini ciptaanku sendiri.”

“ Ayolah,” desak Ayu. “ Pasti ada sesuatu yang lebih khusus.”

Hafiz tersenyum tipis. “Saat menciptakannya, aku pernah berjanji, kelak lagu ini akan aku persembahkan untuk gadis yang aku cintai.”

Ayu merasa jantungnya berdetak lima kali lebihkencang dari biasanya. Tanpa sadar, tubuhnya menegang. “M-maksudmu?”

“ Gadis yang pertama kali ku izinkan mendengar lagu ni adalah gadis yang inngin aku minta untuk menjadi ratu hati-ku.”
Nyaris Ayu melonjak dari duduknya karena terlalu gembira. Ketika seminggu lalu dia meminta Hafiz menyanyikan lagu apa saja asalkan bagus, cowok itu melantunkan lagu ciptaannya tersebut. Apakah itu berarti...
Ayu mengerutkan dahi melihat Hafiz tersenyum lebar dengan tatapan lurus melewati bahunya. Cowok itu lantas melambaikan tangan beberapa kali dengan gembira. Ayu ikut berpaling.

Tak berapa jauh dari belakangnya, ada seorang gadis yang kira – kira seusianya sedang tersenyum sambil melambaikan tangan - memmbalas lambaian Hafiz. Pakaian danpenampilannya sangat sederhana. Dia kelihatan sedang menyiapkan pesana pengunjung.

“ Temanmu ya?” tegur Ayu, diam – diam merasa tak enak.

“ Ya, anak pemilik kafe ini.”

“ Teman di sini? Maksudku, kalian kenal karena kamu sering ngamen dikafenya?”

“ Lebih dari itu, Yu. Dia gadis yang pertama kali aku ijinkan mendengar lagu tadi. Rizka adalah gadis kecilku, ratu yang ada di hati ku. Eh- kayaknya dia kesulitan. Aku tinggal dulu, aku bantu dia dulu.

Hafiz berdiri tanpa menunggu persetujuan dari Ayu, yang saat itu merasa sangat kesal dan terhina. Matanya memanas. Gadis kampunngan itupacar Hafiz!. Dengan kasar dia mengambil ponsel dan mencari nama seseorang di daftar nama.

“ Halo, Dika? Tolong jemput aku sekarang, aku ada di kafe tempat kita ngumpul seminggu yang lalu. Iya, kafe norak itu! Sekarang, jangan lama – lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar