BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Invaginasi adalah proses dimana suatu segmen usus
bagian proksimal masuk kedalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan
obstruksi usus dan dapat menjadi strangulasi dan kemudian mengalami komplikasi
yang berujung pada sepsis dan kematian.
Invaginasi pertamakali di gambarkan oleh
Paul Barbatte di Amsterdam pada tahun 1674. Jonathan Hutchinson melaporkan operasi
pertama invaginasi yang berjalan sukses terhadap anak usia 2 tahun pada 1873.
Di Amerika Serikat, Ravich mempopulerkan penggunaan reduksi barium enema untuk
mengatasi invaginasi. Berdasarkan jenis kelamin, laki – laki paling banyak
mengalami invaginasi dengan rasio yang berbeda di masing – masing wilayah
dimana rasio laki – laki dan untuk wilayah Asia 9 : 1.
Gejala klasik yang paling umum dari
invaginasi adalah nyeri perut yang sifatnya muncul secara tiba – tiba, kolik,
intermiten dan berlangsung hanya beberapa menit. Gejala awal yang sering
dikeluhkan adalah muntah. Kerusakan usus berupa nekrosis hingga perforasi usus
dapat terjadi diantara hari ke 2- 5 dengan puncaknya pada hari ke 3 setelah
gejala klinis terjadi.
Di Negara maju, outcome dari pasien
dengan invaginasi memiliki prognosis yang lebih baik karena dapat tegak secara
dini diikuti dengan prosedur terapi yang invasif seperti reduksi barium enema.
Sebaliknya, di negara berkembang banyak anak dengan invaginasi di laporkan
mengalami keterlambatan untuk mendapatkan terapi defenitif.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Invaginasi
2.1.1. Defenisi
Invaginasi
merupakan suatu keadaan dimana segmen usus bagian proksimal (intususeptim)
masuk kedalam segmen usus bagian distal (intususepien) sehingga menimbulkan
obstruksi/ strangulasi
2.1.2. Epidemiologi
Estimasi
insidensi akurat dari invaginasi tidak tersedia untuk sebagian besar negara
berkembang, demikian juga di banyak negara maju. Di Afrika, tidak ada
penelitian yang melaporkan angka kejadian dari invaginasi. Di Asia dalam hal
ini Taiwan dan Cina, dilaporkan insidens dari invaginasi adalah 0,77 per 1000
kelahiran hidup. Di India, angka kejadiannya dilaporkan berkisar 1,9-54,4 per
tahun. Tidak ada data yang menyebutkan tentang insidensi per kelahiran hidup.
Di Malaysia lebih kurang 10,4 bayi dan anak dirawat di RS Umum Kuala Lumpur
karena intususepsi per tahun. Di Indonesia, angka kejadian invaginasi di RS
wilayah pedesaan dan perkotaan didapatkan angka yang berbeda, yaitu
masing-masing 5,8 dan 17,2 per tahun. Irish (2011) menyebutkan insiden
intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup.
Invaginasi
umumnya ditemukan pada anak-anak di bawah 1 tahun dan frekuensinya menurun
dengan bertambahnya usia anak. Di Afrika, insiden puncak invaginasi muncul
antara usia 3-8 bulan. Di Asia, insiden puncak antara usia 4-8 bulan.
Umumnya
invaginasi ditemukan lebih sering pada anak laki-laki. Di Afrika, tepatnya di
Tunisia, rasio laki-laki dibandingkan perempuan adalah 8:1. Di Asia, rasio
perbandingannya adalah 9:1. Di Timur Tengah, perbandingan antara laki-laki dan
perempuan berkisar antara 1,4:1 sampai 4:1.
2.1.3. Etiologi
1. Idiopatik
Menurut kepustakaan, 90-95 %
invaginasi pada anak di bawah umur satu tahun tidak dijumpai penyebab yang
spesifik sehingga digolongkan sebagai “infantile idiophatic
intussusceptions”. Kepustakaan lain menyebutkan di Asia, etiologi idiopatik
dari invaginasi berkisar antara 42-100%.
Definisi dari istilah ‘idiopatik’ bervariasi di antara penelitian
terkait invaginasi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’
untuk menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas spesifik dari usus yang
diketahui dapat menyebabkan invaginasi seperti diverticulum meckel atau polip
yang dapat diidentifikasi saat pembedahan. Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan
yang teliti dapat mengungkapkan hipertrofi jaringan limfoid mural (Peyer patch),
yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau rotavirus.
Invaginasi idiopatik memiliki
etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori untuk menjelaskan kemungkinan
etiologi invaginasi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi karena Peyer patch
yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3 pengamatan: (1) penyakit ini sering
didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, (2) wilayah ileokolika memiliki
konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di mesenterium, dan (3)
pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai pada pasien yang memerlukan
operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi terhadap intususepsi
atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas.
2. Kausal
Pada penderita
invaginasi yang lebih besar (lebih dua
tahun), adanya kelainan usus dapat menjadi penyebab invaginasi atau “lead
point” seperti: inverted Meckel’s diverticulum, polip usus,
leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma dan
duplikasi usus. Divertikulum
Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers
syndrome, dan duplikasi intestinal. Lead point lain diantaranya lymphangiectasias,
perdarahan submukosa dengan Henoch-Schönlein purpura, trichobezoars
dengan Rapunzel syndrome, caseating granulomas yang berhubungan
dengan tuberkulosis abdominal.
Lymphosarcoma sering dijumpai
sebagai penyebab invaginasi pada anak yang berusia di atas enam tahun.
invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul setelah
dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus,
disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang
luas dan hipoksia local.
2.1.4. Klasifikasi
Jenis
Invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana yang terlibat,
pada ileum dikenal sebagai jenis ileo-ileal.
Pada
kolon dikenal dengan jenis colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut
ileocaecal, jenis-jenis yang disebutkan di atas dikenal dengan invaginasi
tunggal dimana dindingnya terdiri dari tiga lapisan.
Jika
dijumpai dinding yang terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada keadaan
yang lebih lanjut disebut jenis intususepsi ganda, sebagai contoh adalah jenis
ileo-ileo-colica atau colo-colica. Suwandi J.Wijayanto E. di Semarang selama 3
tahun (1981-1983) pada pengamatannya mendapatkan jenis intususepsi sebagai
berikut: Ileo-ileal 25%, ileo-colica 22,5%, ileo-ileo-colica 50% dan
colo-colica 22,5%.
Gambar 1: Gambaran
intraoperative invaginasi ileocolica
Gambar 2: Gambaran
intraoperative invaginasi ileoileal
2.1.5. Gejala
Klinis
Pada
kasus-kasus yang khas, nyeri kolik hebat yang timbul mendadak, hilang timbul,
sering kumat dan disertai dengan rasa tersiksa yang menggelisahkan serta
menangis keras pada anak yang sebelumnya sehat. Pada awalnya, bayi mungkin
dapat dihibur tetapi jika invaginasi tidak cepat di reduksi bayi menjadi
semakin lemah dan lesu. Akhirnya terjadi keadaan seperti syok dengan kenaikan
suhu tubuh sampai 41 C, nadi menjadi lemah-kecil, pernafasan menjadi dangkal,
dan nyeri dimanifestasikan hanya dengan suara rintihan. Muntah terjadi pada
kebanyakan kasus dan biasanya pada bayi lebih sering pada fase awal. Pada fase
lanjut, muntah disertai dengan empedu, tinja dengan gambaran normal dapat
dikeluarkan pada beberapa jam pertama setelah timbul gejala kemudian
pengeluaran tinja sedikit atau tidak ada, dan kentut jarang atau tidak ada.
Darah umumnya keluar pada 12 jam pertama, tetapi kadang-kadang tidak keluar
sampai 1-2 hari. Pada bayi 60% mengeluarkan tinja bercampur darah berwarna
merah serta mucus.
2.1.6. Patofisiologi
Invaginasi
paling sering adalah ileo-colica, diikuti ileo-ileocolica, colo-colica, dan
appendical-colica. Bagian atas usus yang disebut intususeptum mengalami
invaginasi ke bawah, intususipiens sambil menarik mesentriumnya bersama-sama
memasuki lumen yang pembungkusnya. Pada mulanya terdapat suatu konstriksi
mesentrium sehingga menghalangi aliran balik vena, selanjutnya terjadi
pembengkakan invaginasi terjadi akibat edema dan perdarahan mukosa yang
menghasilkan tinja mengandung darah, kadang–kadang mengandung mukus (lendir).
Puncak dari invaginasi dapat terbentang hingga kolon tranversum desendens dan
sigmoid bahkan ke anus pada kasus yang terlantar. Setelah suatu invaginasi
idiopatis dilepaskan, maka bagian usus yang membentuk puncaknya tampak edema
dan menebal, sering disertai suatu lekukan pada permukaan serosa yang
menggambarkan asal dari kerusakan tersebut. Kebanyakan invaginasi tidak
menimbulkan strangulasi usus dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya
mengakibatkan gangren usus dan syok.
2.1.7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis
invaginasi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan
radiologi.
Gejala klinis yang menonjol
dari invaginasi adalah suatu trias gejala yang terdiri dari:
1.
Nyeri
perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat hilang timbul. Nyeri
menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan baru.
2.
Teraba massa tumor di perut bentuk curved sausage pada
bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah, kiri bawah atau kiri atas.
3.
Buang air besar campur darah dan lendir yang disebut red
currant jelly stool.
Bila penderita terlambat
memeriksakan diri, maka sukar untuk meraba adanya tumor, oleh karena itu untuk
kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias invaginasi Mengingat
invaginasi sering terjadi pada anak berumur di bawah satu tahun, sedangkan
penyakit disentri umumnya terjadi pada anak-anak yang mulai berjalan dan mulai
bermain sendiri maka apabila ada pasien datang berumur di bawah satu tahun,
sakit perut yang bersifat kolik sehingga anak menjadi rewel sepanjang
hari/malam, ada muntah, buang air besar campur darah dan lendir maka
pikirkanlah kemungkinan invaginasi.
The Brighton
Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah diagnosis klinis
menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi ini membantu
untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk
membuktikan apakah kasus tersebut adalah invaginasi.
1.
Kriteria Mayor
1.
Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat
muntah hijau, diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal
atau tidak ada sama sekali.
2.
Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana
setidaknya tercakup hal-hal berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau
prolaps rectum, terlihat pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.
3.
Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan
manifestasi perdarahan rectum atau gambaran feses “red currant jelly”
pada pemeriksaan “Rectal Toucher“.
2.
Kriteria Minor
1.
Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun
2.
Nyeri abdomen
3.
Muntah
4.
Lethargy
5.
Pucat
6.
Syok hipovolemi
7.
Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak
spesifik.
Berikut ini adalah pengelompokkan
berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :
1.
Level 1 – Definite (ditemukannya satu kriteria
di bawah ini)
1.
Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan
saat pembedahan
2.
Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid
contrast enema menunjukkan invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa
dibuktikan dapat direduksi oleh enema tersebut.
3.
Kriteria Autopsi – Invagination dari usus
2.
Level 2 – Probable (salah satu kriteria di
bawah)
1.
Dua kriteria mayor
2.
Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor
3.
Level 3 – Possible
Empat atau lebih kriteria
minor
- Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium.
Meskipun
hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis invaginasi,
sebagai proses dari progresivitas, akan didapatkan abnormalitas elektrolit yang
berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan atau peningkatan jumlah leukosit
(leukositosis >10.000/mm3).
- Pemeriksaan Radiologi
- Foto polos abdomen
Didapatkan distribusi udara di dalam
usus tidak merata, usus terdesak ke kiri atas, bila telah lanjut terlihat
tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran “air fluid level”. Dapat
terlihat “free air” bila terjadi perforasi.
Literatur
lain menyebutkan bahwa foto polos hanya memiliki akurasi diagnostik 45% untuk menegakkan
diagnosis invaginasi sehingga penggunaannya tidak diindikasikan jika ada
fasilitas USG.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Hooker et al tahun 2008 dalam Radiographic
Evaluation of Intussusception, tampilan foto polos abdomen dengan posisi left
side down decubitus meningkatkan kemampuan untuk diagnosis atau
menyingkirkan invaginasi.
2.
Barium enema
Dikerjakan
untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila
gejala-gejala klinik meragukan. Pada barium enema akan tampak gambaran cupping,
coiled spring appearance.
3.
Ultrasonografi Abdomen
Penggunaan
USG abdomen untuk evaluasi invaginasi pertama kali digambarkan pada tahun 1977.
Sejak itu, banyak institusi yang mengadopsi penggunaannya sebagai alat skrining
karena tidak adanya paparan radiasi dan rendah biaya. Invaginasi biasanya
ditemukan di sisi kanan abdomen.
Pada tampilan transversal USG,
tampak konfigurasi usus berbentuk ‘target’ atau ‘donat’ yang terdiri dari dua
cincin echogenisitas rendah yang dipisahkan oleh cincin hiperekoik,
tidak ada gerakan pada donat tersebut dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm.
Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm menunjukkan perlunya intervensi
pembedahan. Pada tampilan logitudinal tampak pseudokidney sign yang
timbul sebagai tumpukan lapisan hipoekoik dan hiperekoik.
Pemeriksaan USG selain sebagai
diagnostik, juga dapat digunakan untuk membantu mendiferensiasikan tipe dari
intususepsi. Park et al (2007) melaporkan bahwa invaginasi transien dari usus
kecil lebih sering terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region
periumbilikal, memiliki diameter anteroposterior yang lebih kecil (1,38 cm vs
2,53 cm), memiliki garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53 cm), dan tidak
memiliki nodus limfatikus, dimana berbanding terbalik dengan intususepsi
ileocolic.
Sebuah studi oleh Munden et al
(2007) mendukung penemuan ini, dengan diameter anteroposterior rata-rata adalah
1,5 cm pada intususepsi ileoileal dan 3,7 cm pada intususepsi ileocolic dan
panjang rata-ratanya berkisar 2,5 cm dan 8,2 cm secara respektif.
2.1.8. Diagnosa
Banding
a.
Gastroenteritis, bila
diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai perubahan rasa sakit,
muntah dan perdarahan.
b.
Divertikulum Meckel,
dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
c.
Disentri amoeba, disini
diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila disentri berat
disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.
d. Enterokolitis, tidak dijumpai
adanya nyeri di perut yang hebat.
e. Prolapsus
recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok
dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada
intususepsi didapati adanya celah.
2.1.9 Penatalaksaan
Penatalaksaan dapat dilakukan dengan reposisi barium
enema dan reposisi operatif :
1. Pertama kali dibawa ke rumah sakit, bayi kemungkinan
mengalami dehidrasi dan memerlukan terapi cairan intravena secepatnya. Nasofaringeal
Tube bisa digunakan pada bayi dengan perut yang kosong. Dehidrasi ringan 6
% sedang 8 % berat 10%. Kemudian di
pantau urine outputnya per 1 jam .
2. Reduksi invaginasi dilakukan dengan barium enema yang
menggunakan prinsip hidrostatik. Reduksi dengan barium enema hanya dilakukan
bila tidak ada distensi yang hebat, tanda peritonitis, dan demam tinggi. Akan
tampak gambaran cupping dan coiled spring yang menghilang
bersamaan dengan terisinya ileum oleh barium. Reduksi dengan barium enema
dikatakan berhasil bila sudah mencapai ileus terminal.
3. Selain barium enema, terdapat reduksi manual pada
operasi. Reduksi ini dilakukan bila terjadi perforasi, peritonotis dan tanda-
tanda obstruksi dan biasanya pada invaginasi yang sudah berlangsung 48 jam.
4. Kebanyakan anak yang dirawat sebelum dari 24 jam
sembuh dari invaginasi tanpa komplikasi. Dalam 48 jam setelah operasi anak akan
dimonitor, anak akan menggunakan mesin untuk memonitor temperatur, denyut
jantung dan respirasi. Setidaknya selama 48 jam pertama, anak tidak bisa makan
atau minum agar ususnya istirahat. Anak akan mendapatkan terapi cairan untuk
mencegah dehidrasi. Anak juga akan mendapat Nasofaringeal Tube untuk
mengambil cairan di dalam perut. Saat cairan dari Nasofaringeal Tube bersih
dan jumlah cairan berkurang, anak bisa mulai makan sesuatu.
BAB III
LAPORAN
KASUS
3.1. Anamnesis
Identitas Pribadi
Nama : Edward
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 18 Tahun
Alamat : Jln. P Poelem dusun amaliah Gampoeng Jawa kota
Langsa
Status :
-
Pekerjaan : -
Tanggal Masuk : 31 Januari 2015
3.2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Keluhan
Utama : Tidak dapat Buang air Besar
Telaah :Hal ini dialami os sejak 7 hari sebelum masuk RS HAM.
Pasien tidak buang angin sejak 4 hari
SMRS. Tidak ada perubahan pola dan bentuk defekasi. Riwayat mual muntah (+), sejak
2 hari SMRS.Tidak ada riwayat operasi sebelumnya dan tidak ada demam.
Sebelumnya pasien pernah dirawat di RS lain sebelum dirujuk ke HAM
RPO : Tidak jelas
RPT : Tidak jelas
v
Status
Presens :
Tekanan darah : 120 /80 mmHg
Frekuens inadi : 90 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Temperature : 37,0 C
v
Status
Lokalisata
Kepala : Mata : Konjungtiva palpebra
inferior pucat (+/+),sclera ikterik (-/-)
Telinga/ Mata/ Hidung : Dalambatas normal
Leher : Tidak dijumpai pembesaran
kelenjar getah bening
Thoraks
I :
Simetris Fusiformis
P :
Strem fremitus kanan = kiri
P :
Sonor pada kedua lapangan paru
A :
SP :Vesikuler
ST
: -
Abdomen
I :
Simetris, membesar ,Darm contour (-)
P :
Soepel, Defens muscular (+), Nyeri seluruh lapangan perut
P :
Hipertympani
A :
Peristaltik usus meningkat
Ekstremitas : Superior :tidak
dijumpai kelainan
Inferior
: tidak dijumpai kelainan
Genitalia : Tidak dijumpai
kelainan
v
DRE
Perineum normal, tonus spicter ani ketat, mukosa
lunak, Ampula recti : kolaps, feces(-). Hand
gloves feces (-), darah (+), and mucous (-) .
3.3. Tatalaksana di IGD
•
Puasa
•
IVFD RL 20 gtt/i
•
Pasang NGT-à keluar cairan lambung berwarna hijau
•
Pasang kateter urin--à urin kuning
•
Cek darah lengkap
•
Foto thoraks AP erect
•
Foto abdomen supine
•
Foto abdomen erect
3.4.Pemeriksaan
Laboratorium (31/01/2015)
• Hb :
14,7 g/dl
• Ht :
41,9 %
• Leu : 21,3 103/mm3
• Eritrosit :
5,02 103/mm3
• Tromb : 324.000/mm3
• Na/K/Cl :
131/4,0/102
• KGD ad random :
89 mg/dl
• Albumin :
2,9 g/dl
3.5. Pemeriksaan Foto
Foto
thoraks PA erect
Kesan :Tidak ditemukan kelainan
|
Foto
abdomen supine
Kesan :dilatasi small bowel, large bowel tidak terlihat
|
Foto abdomen erect
Kesan : Multiple step leader (+)
|
3.6. Diagnosis
fungsional :Susp. Invaginasi
3.7. Rencana tindakan : Eksplorasi Laparotomy
Follow
Up
Tgl
|
S
|
O
|
A
|
P
|
01–02 - 2015
|
|
HD Stabil
|
Post explorasi
laparatomy + post ileoileal massif end to end ieoileal anestomous due to invaginasi
|
Diet TPN 3 hari
IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
IVFD Aminopusin 1 fls/hr
IVFD Dex 5% (2 fls) + Dex 40%
(5fls) 20gtt/i
IVFD Ivelip 20 gtt/i
Inj Ceftriaxone 18/12jam
Inj Metronidazole 500 mg
Inj Ranitidin 50 mg/12jam
Inj Ketorolac 30mg/8jam
|
02-02-2015
|
HD Stabil
|
Luka Oprasi kering ( tertutup perban)
|
Post explorasi
laparatomy + post ileoileal massif end to end ieoileal anestomous due to invaginasi
|
Diet TPN hari ke 4
IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
IVFD Aminopusin 1 fls/hr
IVFD Dex 5% (2 fls) + Dex 40%
(5fls) 20gtt/i
IVFD Ivelip 20 gtt/i
Inj Ceftriaxone 18/12jam
Inj Metronidazole 500 mg
Inj Ranitidin 50 mg/12jam
Inj Ketorolac 30mg/8jam
Acc pindah Ruangan
|
03-02-2015
|
HD Stabil
|
Luka Oprasi kering ( tertutup perban)
|
Post explorasi
laparatomy + post ileoileal massif end to end ieoileal anestomous due to invaginasi
|
Diet TPN hari ke 5
IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
IVFD Aminopusin 1 fls/hr
IVFD Dex 5% (2 fls) + Dex 40%
(5fls) 20gtt/i
IVFD Ivelip 20 gtt/i
Inj Ceftriaxone 18/12jam
Inj Metronidazole 500 mg
Inj Ranitidin 50 mg/12jam
Inj Ketorolac 30mg/8jam
|
04-02-2015
|
|
|
Post explorasi
laparatomy + post ileoileal massif end to end ieoileal anestomous due to invaginasi
|
Diet TPN hari ke 6
IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
IVFD Aminopusin 1 fls/hr
IVFD Dex 5% (2 fls) + Dex 40%
(5fls) 20gtt/i
IVFD Ivelip 20 gtt/i
Inj Ceftriaxone 18/12jam
Inj Metronidazole 500 mg
|
05- 02-2015
|
HD Stabil
|
|
Post explorasi
laparatomy + post ileoileal massif end to end ieoileal anestomous due to invaginasi
|
IVFD Kaen 3B 20 gtt/i
IVFD Aminopusin 1 fls/hr
IVFD Dex 5% (2 fls) + Dex 40%
(5fls) 20gtt/i
IVFD Ivelip 20 gtt/i
Inj Ceftriaxone 18/12jam
Inj Metronidazole 500 mg
|
BAB IV
TEORI DAN PEMBAHASAN
Teori
|
Kasus
|
Invaginasi umumnya terjadi pada anak di
bawah 1 tahun. . Di Afrika, insiden puncak invaginasi muncul antara usia 3-8 bulan. Di
Asia, insiden puncak antara usia 4-8 bulan. Berdasarkan jenis kelamin, laki – laki paling banyak mengalami
invaginasi dimana rasio laki – laki dan untuk wilayah Asia 9 : 1.
|
Pada pasien ini berusia 18 tahun.
|
Pada gejala klinis biasanya dijumpai nyeri
kolik abdomen, anak menangis tiba-tiba, keluar darah bercampur lendir “red
recurrent jelly”, muntah, diare, dan banana like mass
|
Pasien tidak buang angin sejak 4 hari SMRS. Tidak ada
perubahan pola dan bentuk defekasi. Riwayat mual muntah (+), sejak 2 hari
|
Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik
untuk menegakkan diagnosis invaginasi, sebagai proses dari progresivitas,
akan didapatkan abnormalitas elektrolit yang berhubungan dengan dehidrasi,
anemia dan atau peningkatan jumlah leukosit (leukositosis >10.000/mm3).
|
|
Didapatkan
distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke kiri atas, bila
telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran “air
fluid level”. Dapat terlihat “free air” bila terjadi perforasi.
|
Pada foto
abdomen erect dijumpai kesan multiple air fluid level
|
Penatalaksanaan awal pada invaginasi adalah
: puasa, pemasangan infus, dekompresi, pemberian antibiotik, dan resusitasi
cairan
|
Pada pasien ini hanya diberikan puasa,
pemasangan infus, dan pemberian antibiotik.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar