Rabu, 20 November 2013

Menunggu persetujuan langit

Ada bekas bibir di tubir cangkir
yang setengah isi setengah kosong.
Aku menatapmu, kamu menatap cangkir itu.

Tidak ada yang menawar sunyi dengan harga tinggi. 
Ia melekatkan diri di tengah-tengah ruangan ini. 
Seharusnya secangkir kopi kita sesap berdua hingga hitamnya lenyap tak tersisa.

Namun gengsi, ia tak juga pergi. 
Di antara degup dan ingin seperti dedaun beda ranting. 
Aku menunggu, kau masih meragu.

Lorong pikirmu mungkin terlalu sibuk. Waktu seolah
bisu, tak sanggup memberhentikan lamunanmu. 
Di depanmu, aku seolah sosok asing. 
Meski sebenarnya, aku jugalah yang disakiti paling sering.

Persimpangan telah kita lalui, meriap dari bawah akar
menyembul lantas mengulur. 
Aku limbung, padahal hampir sepuluhan kata telah aku coba susun. 
Aku hendak mengatakan dengan mulutku, di mulutmu.

Persimpangan memang membingungkan. Tapi ketika kau tahu aku menunggu
di salah satu ujungnya, mengapa harus mempertanyakan arah?
Aku tak ingin kakimu berhenti pada tempat yang tak ingin dipijaki.

Atau kekasih, kita mulai dari awal. Seperti awal mula dunia, ketika Adam
menyunting Hawa. Salah ialah pelajaran yang baru saja aku petik, dari hatimu.

Bisakah kita menyalakan lampu hijau pada lembar-lembar kebahagiaan?
Lalu mencabuti ego pada kepala kita masing-masing. 
Apakah ini terlalu rumit untuk disetuji olehmu?
Kamu, aku, menyatu. Bukan satu satu beradu.
Dekap aku dengan doamu, akan kudekap kamu dengan doaku. 
Biarkan doa kita saling dekap, lantas kita saling lekap. 
Agar langit tak lagi temaram, agar cinta tak lekas benam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar