Ada yang lebih juara menjadi penyimpan rasa tanpa suara.
Sebut saja aku.
Memahami tiap gerik yang kau ciptakan, memeluk tiap ucapmu dalam ingatan dan memilikimu meski baru dalam angan-angan. Duduk saja disana, aku memandangimu sambil terpikat lebih dalam. Ada satu yang hal sulit kutolak, segala yang semesta tawarkan dalam bentuk kebetulan.
Kebetulan kamu hadir, kebetulan bertemu dalam sebuah pertemuan, kebetulan saling berkenalan, kebetulan terciptalah percakapan, kebetulan aku jatuh cinta denganmu, kebetulan kita dibungkus dalam sesederhananya perasaan yang lahir, kebetulan aku harus selalu terus melihatmu, dan kebetulan aku tak menemukan tombol untuk menghentikan rasa yang ada.
Tadinya, kebetulan-kebetulan itu terasa sakral. Tapi kebetulan memang hanya seonggok kebetulan. Tidak lebih. Dan harusnya disitulah kau nyalakan secepatnya radar tahu diri. Bahwa kebetulan takkan berarti apa-apa jika berujung pada hati yang telah berempunya. Kebetulan hanya sebuah repetisi, bonus bagi hati. Buatku, mungkin kebetulan hanya sebuah layar kaca yang bebas menyodorkan cerita mana buat para penonton setianya. Kebetulan hanya akan membuatmu tersenyum dibawa terbang oleh ekspektasi yang ketinggian. Kamu memang butuh kepastian yang bukan lagi bagian dari suatu kebetulan.
Aku harap kita tak hanya sebuat kebetulan, tapi dua pasang yang memang telah digariskan. Menunggu garis edar kita berubah dan mempersatukan aku dan kamu. Semoga.