Takdir?
Iakah juru kunci pemberi dan pemberhenti setiap fungsi hati saat
cinta mengalir? Sekuat itukah kehadirannya hingga kini aku masih
menunggu saat ia tiba? Dari begitu banyak peristiwa, takdir telah ada.
Bukankah saat pertama aku bertemu dengan objek yang kini melebatkan
rindu, takdir juga ikut hadir? Salahkah jika aku masih menunggu
keberadaan takdir? Apa takdir absen untuk mampir dalam perjalanan sampai
cerita ini berakhir?
Padanya telah kupercayakan rasa yang sejak awal masih saja ada.
Padanya aku tahu, kelak akan dipertemukan dengan yang benar-benar sudah
menungguku. Tapi kini, giliran aku yang sedang menunggunya datang, tapi
bukan ke arah sini. Datanglah menuju kepada ia yang aku cinta, lalu
sama-ratakan rasa yang kami punya.Ketika takdir telah menuntun, tak ada
kuasa kita untuk mencegah rasa itu datang berkunjung. Hati berdoa,
semoga ia tak jatuh sendirian. Semoga milikmu pun terjatuh bersamaan.
Kemudian saat ini, kuharap sebenarnya kita tengah saling menunggu
kesempatan. Sebab ada debar yang tak mampu kujelaskan, namun cukup
sanggup membangkitkan rindu tak berkesudahan.
Mungkin kamu tak akan pernah mengetahui, betapa sebuah hati sedang
dikelabui perasaannya sendiri. Mungkin kamu juga tak akan pernah
menyadari, betapa sebuah hati sedang berjuang melawan logika, agar
denganmu ia bisa bersama. Menumbuhkan debar di dadaku itu terlalu mudah,
yang sulit adalah menebak dengan benar ke mana langkahmu itu terarah.
Apakah kepadaku? Ataukah kepada yang bukan aku? Senyummu itu kunci
jawabnya, namun tak pernah kamu menatap sepasang mataku yang
bertanya-tanya.
Bagaimanakah mengambil hati sang takdir agar nama kitalah yang
dipasangkan sebagai dua yang nantinya takkan terpisahkan? Jika saja
waktu bisa membantu mempercepat gerakmu untuk menuju ke tempatku,
mungkin ini akan menjadi kerja sama termanis yang pernah ada. Memang
perlu ada beberapa kerjasama untuk menyatukan kita selain lewat doa.
Setidaknya aku ingin meminta agar ketika gelas berisikan nama-nama yang
nantinya terkocok akan keluar sebuah kita. Lalu dengan sendirinya
rinduku akan mencolek pipimu dan menyadarkanmu bahwa ia perlu teman.
Membayangkan beberapa hal tentang kita yang masih berbungkus sebuah
pinta dalam plastik sederhana sangatlah menenangkan jiwa. Aku bahagia,
bahkan sebelum saat itu tiba.
Pada hari-hari yang juga sudah kulewatkan, ada harapan tentang
kesamaan perasaan. Di waktu-waktu yang diisi kesunyian, ada keinginan
agar kita bisa bersama menjalani keseharian. Bertemankan rindu tak juga
membuatku akrab dengan waktu. Menunggu bukanlah kemampuan atau juga
kemauanku. Tapi entahlah aku selalu memberikan pengecualian untuk segala
yang tentang kamu. Tak pernah terpikir olehku, bagaimana bisa sebuah
kejadian biasa kelak akan membuatku luar biasa menginginkanmu? Dari
situ, kukira cinta adalah sebuah permainan antara dua takdir yang
berpapasan. Mereka beradu debar di lapang dada masing-masing. Namun
anehnya, siapapun yang paling pintar menjaga debar dengan sabar, tetap
akan pulang membawa hadiah penasaran.
Andai mempertemukan dua hati dalam cinta semudah cerita-cerita
bahagia, tak mungkin kiranya aku cemas akan luka yang bisa datang kapan
saja. Namun kita hanyalah sepasang yang mudah terbawa takdir, sulit bagi
hati kita untuk saling menafsir. Hati begitu mudah dibawa naik turun
pergi dengan berbagai presepsi dan prediksi. Siapa lagi jika bukan kamu
sebagai dalam dibalik setiap pengecualian dan pengendalian hatiku? Aku
tak bisa menyalahkan sesiapa, bahkan takdir pun telah diberikan
pembebasan dari suatu kesalahan oleh Tuhan. Aku hanya salah satu dari
milyaran manusia yang menaruh percaya pada cinta diatas segala
ketidakpastian yang ada. Buatku, hati akan selalu berperkara asalkan
masih ada segenggam percaya.
Jika suatu saat, kamu terpanggil oleh takdir, kuharap cinta juga
sudah bersamamu ikut mengalir. Lalu terlahir lah sepasang kembaran
perasaan. Namun jika memang aku masih harus menunggu, semoga lama tidak
perlu menjadi sebuah penghalang bagiku. Semoga angin akan mengarahkanmu
menjadi sedekat yang aku ingin.
Semoga takdir akan membawamu kepadaku
seperti yang aku mau. Tentang harap yang tak mengenal kata lenyap,
mudah-mudahan akan ada saatnya untuk kita menyatukan perasaan.Kuharap
senyuman yang aku miliki mampu memberikan getaran yang sama seperti yang
kamu punya. Kuharap kehadiranku dapat menjadi sesuatu yang juga sedang
kamu tunggu-tunggu. Kuharap permintaanku tidaklah begitu keterlaluan
untuk bisa Tuhan kabulkan.
Dari balik sekat kaca pemisah takdir kita, aku memanggilmu mendekat.
Berharap, berdoa, berupaya, agar cintaku sampai dengan selamat, di
alamat yang tepat; hatimu. Semoga kiranya Tuhan bersedia memberi kata
‘iya’, agar tumpukan rindu serta penantian-penantianku, tak akan
sia-sia.
Jumat, 07 Juni 2013
Bersabarlah ( HATI )
Tak pernah terpikirkan sebelumnya, saat-saat seperti ini akhirnya
datang juga. Ketika diri sendiri merasa terlalu sepi untuk lari dari
sunyi, namun terlalu enggan mencari yang mampu mendampingi. Seakan cinta
di dalam dada terlampau berharga untuk diberikan begitu saja. Seakan
kosong di dalam hati terlalu kecil untuk bisa kututupi sendiri—padahal
tidak. Semua bagai berpura-pura, namun bukan begitu sebenarnya. Aku
hanya takut terluka, sebab segala cinta yang kukenal, belum ada yang
berakhir bahagia.
Semiris itukah cinta yang menghampiri hati? Atau aku yang telah tak berhati-hati menaruh hati?
Jika mencintai berarti memberi hati seutuhnya, aku tidak ingin mempertaruhkannya pada yang mahir meretakkan. Karena tidak pernah ada yang tahu telah sejauh apa aku memunguti serpihan itu satu-satu, mengumpulkannya, lalu menyatukannya lagi hingga sempurna, hingga tak ada luka. Setelah sembuh, lalu semudah itu seorang baru merobohkan hatiku hingga lagi-lagi runtuh? Aku tahu, tak baik terus begini. Bagaimana bahagia bisa mendatangi, jika membuka hati saja aku tak berani? Dengan alasan apapun, yang punya awal pasti kelak berakhir. Meski sudah melangkah paling hati-hati, kuyakin ada saatnya hati akan sakit kemudian sembuh sendiri. Namun aku lelah terus menerus terjebak pada repitisi yang sama. Seseorang datang, mendekat, bersama, sakit, lalu berujung aku, atau dia yang luka.
Jika boleh memilih, aku ingin menggunting peta takdir. Agar tak perlu melalui banyak hati, dan langsung sampai di pelabuhan terakhir. Tapi inilah perjalanan. Kaki bertugas melintasi dan hati mempelajari apapun yang semesta beri. Sejuta tempat singgah, berkelana hingga berdiam di titik lelah, masing-masing dari kita pasti akan menemukan seseorang yang bisa disebut rumah
.Bukan soal akhir, bukan soal awal, bukan bagaimana memulainya dan bukan bagaimana caramu mengakhiri. Tapi ini tentang menjalani, bertahan dan mendewasa dalam setiap pilihan.
Di dasar hatiku pernah terletak beberapa nama. Di sela-sela tiap mula ada ketakutan yang sama, tentang hubungan yang berujung tanpa bersama. Tapi ini mungkin hanya soal bertoleransi dengan waktu. Jika cinta sudah mendatangi, sekeras apapun kamu menolak, ia pasti akan menang telak. Jika ini hanya perihal waktu, aku tahu aku pintar menunggu. Namun barangkali, ini lebih dari itu. Sebab katanya, Tuhan hanya memberi sesuatu jika kita telah betul-betul siap memilikinya.
Mungkin saja ada yang memang belum betul-betul siap—mungkin saja aku, mungkin saja kamu, mungkin saja entah. Meyakini hal-hal semu memang tak mudah, tapi lebih baik daripada menjatuhkan diri pada kesedihan yang salah.
Bersabarlah, hati. Yakinilah, di lain hari, kita akan lebih bahagia daripada ini
Semiris itukah cinta yang menghampiri hati? Atau aku yang telah tak berhati-hati menaruh hati?
Jika mencintai berarti memberi hati seutuhnya, aku tidak ingin mempertaruhkannya pada yang mahir meretakkan. Karena tidak pernah ada yang tahu telah sejauh apa aku memunguti serpihan itu satu-satu, mengumpulkannya, lalu menyatukannya lagi hingga sempurna, hingga tak ada luka. Setelah sembuh, lalu semudah itu seorang baru merobohkan hatiku hingga lagi-lagi runtuh? Aku tahu, tak baik terus begini. Bagaimana bahagia bisa mendatangi, jika membuka hati saja aku tak berani? Dengan alasan apapun, yang punya awal pasti kelak berakhir. Meski sudah melangkah paling hati-hati, kuyakin ada saatnya hati akan sakit kemudian sembuh sendiri. Namun aku lelah terus menerus terjebak pada repitisi yang sama. Seseorang datang, mendekat, bersama, sakit, lalu berujung aku, atau dia yang luka.
Jika boleh memilih, aku ingin menggunting peta takdir. Agar tak perlu melalui banyak hati, dan langsung sampai di pelabuhan terakhir. Tapi inilah perjalanan. Kaki bertugas melintasi dan hati mempelajari apapun yang semesta beri. Sejuta tempat singgah, berkelana hingga berdiam di titik lelah, masing-masing dari kita pasti akan menemukan seseorang yang bisa disebut rumah
.Bukan soal akhir, bukan soal awal, bukan bagaimana memulainya dan bukan bagaimana caramu mengakhiri. Tapi ini tentang menjalani, bertahan dan mendewasa dalam setiap pilihan.
Di dasar hatiku pernah terletak beberapa nama. Di sela-sela tiap mula ada ketakutan yang sama, tentang hubungan yang berujung tanpa bersama. Tapi ini mungkin hanya soal bertoleransi dengan waktu. Jika cinta sudah mendatangi, sekeras apapun kamu menolak, ia pasti akan menang telak. Jika ini hanya perihal waktu, aku tahu aku pintar menunggu. Namun barangkali, ini lebih dari itu. Sebab katanya, Tuhan hanya memberi sesuatu jika kita telah betul-betul siap memilikinya.
Mungkin saja ada yang memang belum betul-betul siap—mungkin saja aku, mungkin saja kamu, mungkin saja entah. Meyakini hal-hal semu memang tak mudah, tapi lebih baik daripada menjatuhkan diri pada kesedihan yang salah.
Bersabarlah, hati. Yakinilah, di lain hari, kita akan lebih bahagia daripada ini
Sabtu, 01 Juni 2013
Percakapan AKU dan HATI
Hari ini aku bercanda lagi dengan hati.
“Aku liat banyak hati yang terluka, tapi tak sendiri. Mana pasanganmu? Siapa yang menjagaimu?”
Sepertinya hati ingin tertawa melihatku bertanya seperti itu.
“Jika belum siap, untuk apa mengundang penghuni yang nantinya menyakiti?”
“Jadi kamu lebih memilih ‘sendiri’ dibanding ‘berdua’?”
“Bukan itu persoalannya. Entah sendiri atau berdua, intinya sudah bisakah berbahagia meramu cinta? Tentang mereka yang tak sendiri, sudahkah menyicipi cinta yang sederhana, atau malah tergulung rumitnya drama yang tak habis-habisnya? Aku bahagia begini, perjalanan menemukan dan ditemukan itu menarik. Memang lebih bahagia jika nanti ada yang mengisi kekosonganku dan melipatgandakan bahagia yang ada. Jika ada, dia itu mungkin calon penghuniku.”
“Rasanya jawabanmu tangguh sekali, tak seperti tubuhmu.”
“Sebenarnya semua hati itu kuat. Jika sesekali mereka terlihat lemah, mungkin karena mereka tak berusaha mencari pintu menuju rumah kekuatannya. Kamu hanya tidak tahu saja, seberapa kuat aku dan mereka.”
“Sekuat itu? Jika ada hati lain yang melemahkanmu, apakah ia berarti lebih kuat?”
“Tidak juga. Terkadang aku memberi mereka peluang untuk tereliminasi dari calon-calon penghuni, daripada meneruskan arah memberikan sebuah ruang.”
“Lagi-lagi perihal kemauanmu dan lagi-lagi tentang konsekuensi nanti.”
“Bukankah memang seharusnya semua hati seperti itu? Hati-hati menjatuhkan diri, hati-hati mempersilahkan penghuni masuk, hati-hati menjaga diri.”
“Pernah kau tak hati-hati?”
“Sering. Tapi itu sebuah pelajaran kan? Kadar hati-hati para hati akan meningkat seiringnya mereka tak berhati-hati. Setidaknya aku lebih bijaksana dalam melihat segalanya setelah jatuh terpecah-belah.”
“Ya, aku ingat. Tentang beberapa calon penghuni masa lalumu. Nama-nama mereka rasanya ringan terdengar, tak seberat dulu ya? Seiring berjalannya waktu aku melepas, lega itu mulai terhempas. Aku mendewasa, termasuk juga kamu."
“Firasat tentang akhir dengan objek pujaanmu, selalu tiba tepat waktu. Aku mendengungkannya sampai terdengar gema. Tapi sering kau mengacuhkanku. Padahal jika kamu memekakan telinga, semuanya akan berjalan baik-baik saja.
Tapi seperti hukum semesta, semua tidak akan pernah berjalan baik-baik saja. Namun, kau akan tetap baik-baik saja pada akhirnya.”
“Maaf hati, jika sering menutup telinga demi segala kesenangan sementara. Maaf hati, jika lagi-lagi aku mengijinkanmu dilukai berkali-kali. Maaf untuk setiap ketidakpekaan. Maaf…”
“Maafmu seharusnya adalah karena terlalu banyak mengucapkan maaf.”Tersenyumlah hati, karena kita akan bekerja sama membangun cinta. Rumah yang selama ini kita puja puja
“Aku liat banyak hati yang terluka, tapi tak sendiri. Mana pasanganmu? Siapa yang menjagaimu?”
Sepertinya hati ingin tertawa melihatku bertanya seperti itu.
“Jika belum siap, untuk apa mengundang penghuni yang nantinya menyakiti?”
“Jadi kamu lebih memilih ‘sendiri’ dibanding ‘berdua’?”
“Bukan itu persoalannya. Entah sendiri atau berdua, intinya sudah bisakah berbahagia meramu cinta? Tentang mereka yang tak sendiri, sudahkah menyicipi cinta yang sederhana, atau malah tergulung rumitnya drama yang tak habis-habisnya? Aku bahagia begini, perjalanan menemukan dan ditemukan itu menarik. Memang lebih bahagia jika nanti ada yang mengisi kekosonganku dan melipatgandakan bahagia yang ada. Jika ada, dia itu mungkin calon penghuniku.”
“Rasanya jawabanmu tangguh sekali, tak seperti tubuhmu.”
“Sebenarnya semua hati itu kuat. Jika sesekali mereka terlihat lemah, mungkin karena mereka tak berusaha mencari pintu menuju rumah kekuatannya. Kamu hanya tidak tahu saja, seberapa kuat aku dan mereka.”
“Sekuat itu? Jika ada hati lain yang melemahkanmu, apakah ia berarti lebih kuat?”
“Tidak juga. Terkadang aku memberi mereka peluang untuk tereliminasi dari calon-calon penghuni, daripada meneruskan arah memberikan sebuah ruang.”
“Lagi-lagi perihal kemauanmu dan lagi-lagi tentang konsekuensi nanti.”
“Bukankah memang seharusnya semua hati seperti itu? Hati-hati menjatuhkan diri, hati-hati mempersilahkan penghuni masuk, hati-hati menjaga diri.”
“Pernah kau tak hati-hati?”
“Sering. Tapi itu sebuah pelajaran kan? Kadar hati-hati para hati akan meningkat seiringnya mereka tak berhati-hati. Setidaknya aku lebih bijaksana dalam melihat segalanya setelah jatuh terpecah-belah.”
“Ya, aku ingat. Tentang beberapa calon penghuni masa lalumu. Nama-nama mereka rasanya ringan terdengar, tak seberat dulu ya? Seiring berjalannya waktu aku melepas, lega itu mulai terhempas. Aku mendewasa, termasuk juga kamu."
“Firasat tentang akhir dengan objek pujaanmu, selalu tiba tepat waktu. Aku mendengungkannya sampai terdengar gema. Tapi sering kau mengacuhkanku. Padahal jika kamu memekakan telinga, semuanya akan berjalan baik-baik saja.
Tapi seperti hukum semesta, semua tidak akan pernah berjalan baik-baik saja. Namun, kau akan tetap baik-baik saja pada akhirnya.”
“Maaf hati, jika sering menutup telinga demi segala kesenangan sementara. Maaf hati, jika lagi-lagi aku mengijinkanmu dilukai berkali-kali. Maaf untuk setiap ketidakpekaan. Maaf…”
“Maafmu seharusnya adalah karena terlalu banyak mengucapkan maaf.”Tersenyumlah hati, karena kita akan bekerja sama membangun cinta. Rumah yang selama ini kita puja puja
posted from Bloggeroid
Langganan:
Postingan (Atom)