Kata study oriented (biasa dikenal dengan istilah eS O) sudah cukup akrab di telinga para pelajar/mahasiswa (makanya gak salah juga kalo tema ini dipilih menjadi a topic of debate contest). Mahasiswa mungkin sering membahasakan atau menuduh seorang temannya sebagai mahasiswa yang study oriented. Atau mungkin kita pernah menerima nasehat supaya jangan jadi mahasiswa yang study oriented. Dan mungkin masih banyak pernyataan dan asumsi lainnya yang menekankan bahwa menjadi mahasiswa yang study oriented adalah sesuatu yang patut dihindari.
Pertanyaannya adalah: apa yang dimaksud dengan study oriented, dan apakah ada yang salah dengan study oriented?
# Study oriented, makhluk apakah engkau?
Study = process of learning; orientation: direction of development (dari Encarta Dictionary®). Secara sederhana, orang yang study oriented bisa kita defenisikan sebagai orang yang berorientasi kepada proses pembelajaran. Berorientasi berarti mengutamakan atau mengarahkan.
Secara gamblang, sepertinya tidak ada yang salah dengan istilah tersebut. Saya bahkan cenderung menilai bahwa adalah keharusan bagi setiap insan akademik untuk selalu study oriented. Ketika dihadapkan pada berbagai persoalan dan pilihan dalam hidup sebagai seorang pembelajar, maka kita harus study oriented. Kita harus menjatuhkan pilihan kepada hal yang memberikan proses pembelajaran, atau kita harus mengarahkan segala sesuatunya untuk menjadi pelajaran.
Study oriented bukan berarti belajar saja dan menanggalkan status sosial sebagai mahasiswa (meskipun tidak ada yang salah dengan “belajar saja”). Study oriented juga bukan berarti meninggalkan proses berteman untuk kemudian bisa konsen dan fokus untuk belajar. Dan yang lebih penting, study oriented bukan berarti mengharamkan diri untuk berorganisasi sebanyak yang dirasa bisa terfasilitasi.
# Berorganisasi: penting tapi kadang troublesome
Sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa kepemimpinan dan kemampuan manajerial adalah attitude yang penting dimiliki oleh tamatan perguruan tinggi. Lima tahun kuliah (mungkin ada juga yang lebih… ) sepertinya sudah terbilang cukup untuk berusaha mengasah kemampuan manajerial dan leadership seorang mahasiswa. Dan the only choice-nya adalah dengan berorganisasi. Menjadi pengurus dan aktif di sana-sini adalah bentuk manifestasinya. Namun pilihan ini membawa konsekuensi bagi pelakunya: konsekuensi tentang manajemen waktu
(lebih tepatnya: manejemen diri, karena waktu tidak bisa di-menej, dirilah yang bisa diatur).
berorganisasi, biar hidup lebih sophisticated
Kebanyakan kita biasanya berdalih bahwa berorganisasi berarti menyita waktu dan akan mempengaruhi prestasi akademik kita. Dengan kata lain, jika lebih diperjelas, kita beranggapan bahwa berorganisasi adalah perihal yang menyita waktu belajar kita sehingga mempengaruhi kualitas akademik kita.
Saya ingin menyampaikan fakta bahwa, berorganisasi sama sekali tidak menyita waktu belajar kita. Berorganisasi hanya menyita waktu bermain-main kita dan mengambil waktu bermalas-malasan kita. So, what gitu lho…? Itu kan namanya pemanfaatan dan optimalisasi waktu bukan…?
Faktanya lagi, pengamatan kita membuktikan bahwa porsi belajar antara seseorang
yang aktif berorganisasi dengan seseorang yang ‘biasa-biasa saja’ adalah relatif sama. Terlepas apakah seseorang itu aktivis atau tidak, frekuensi belajarnya adalah sama saja (kebanyakan sama-sama semalam sebelum hari H ujian, hihi… ). Bahkan mungkin cenderung sebaliknya. Seorang aktivis yang lebih sibuk biasanya memiliki penghargaan yang lebih besar terhadap waktu dibandingkan dengan yang ‘biasa-biasa saja’, sehingga mereka yang sibuk dapat mengefektifkan ketersediaan waktunya.
# Study Oriented ≠ Study Only
Selama ini, kita beranggapan bahwa mahasiswa yang study oriented adalah mahasiswa yang hanya kuliah melulu dan menutup mata dengan dunia yang jauh lebih luas dari ruangan kelas dan laboratorium. Atau dengan istilah yang sering kita dengar: mahasiswa kupu-kupu (kuliah – pulang – kuliah – pulang). Mahasiswa robot dengan serentetan kode perintah yang sudah tertanam di dalam chip-nya: bangun pagi, ke kampus untuk kuliah, nge-lab, pulang, kerjakan tugas, istirahat, kampus, kuliah, pulang, dan seterusnya. Mahasiswa yang paham dengan begitu detailnya tentang apa yang ada di kelas dan apa yang ada di labor, tetapi sangat awam terhadap apa yang ada di luar kelas (meskipun masih dalam lingkungan kampus). Kita juga beranggapan bahwa orang ini adalah orang yang hanya memikirkan aktivitas kuliahnya dan sama sekali mengesampingkan aktivitas belajar lainnya.
Aktivitas belajar lainnya? Ya, belajar bagaimana mengaktualisasikan diri; belajar bagaimana membangun komunikasi; belajar bagaimana bersosialisasi; dan belajar bagaimana menjadi pemimpin.
Saya kira, momok yang selama ini kita tempelkan terhadap terhadap istilah “study oriented” seharusnya kita labelkan kepada “study only” (kebetulan sama-sama disingkat SO). Karena sebagai mahasiswa kita memang diutus untuk belajar dan menjadi seorang pembelajar. Seandainya kita merantau dari kampung dan kemudian menerima biaya dari orang tua, maka memang tugas dan risalah kita adalah untuk belajar. Namun, betapa sempitnya pemikiran kita seandainya “belajar” yang kita pahami adalah kegiatan akademik di kelas dan lab dan didampingi oleh dosen dan tenaga pengajar.
Betapa banyak pelajaran dan hikmah yang tidak dapat dihadirkan oleh seorang dosen, tetapi muncul dari seorang teman. Tidak jarang suatu keahlian berawal dari proses pertemanan.
# Prestasi sering berawal dari organisasi
Pengalaman membuktikan bahwa berorganisasi berarti membuka peluang untuk hadirnya prestasi, baik secuil maupun segudang *owalaah… Pengalaman orang lain mungkin tidak akan begitu mudah membuat kita percaya dengan statement yang satu ini. Namun bagaimana jika ini adalah pengalaman pribadi? Makanya buktikan sendiri…!
Fakta di lapangan sudah membuktikan bahwa nyaris semua mahasiswa berprestasi adalah mahasiswa yang juga aktivis. Betapa banyak mahasiswa yang aktif di kegiatan kepenulisan kemudian mengantarkannya kepada predikat mahasiswa berprestasi dalam karya tulis ilmiah. Tidak sedikit juga mahasiswa yang aktif di beberapa lembaga kemahasiswaan kemudian berprestasi dalam lomba pemikiran kritis tingkat nasional, lomba debat, pidato atau orasi ilmiah. Atau aktivis di kegiatan kerohanian yang kemudian juara MTQ tingkat nasional, cabang MHQ, MFQ, atau cabang lainnya dalam MTQ. Atau dalam ajang pemilihan mahasiswa berprestasi, student award, dan lain sebagainya. Karena berorganisasi cenderung melahirkan suatu jati diri, suatu prinsip.
# SO yuk…!
So, tidak ada yang salah dengan study oriented. Kita kuliah memang untuk belajar. Bahkan kita hidup adalah untuk belajar, study oriented selamanya. Belajar adalah satu-satunya ibadah yang diperintahkan untuk dilaksanakan seumur hidup, mulai dari kecil sampai akhir hayat.
Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat” (Al Hadits)
Berorganisasi memunculkan teman. Berteman melahirkan pergaulan. Pergaulan membawa pada dinamika. Dan dinamika membawa kepada kematangan hidup sebagai seorang pembelajar ilmu kehidupan yang benar-benar nyata akan dibutuhkan
Mari kita orientasikan hidup kita yang seharusnya kita pergunakan sebaik2nya untuk berorientasi pada
belajar ilmu akademik,
belajar ilmu untuk aktualisasi diri,,
belajar ilmu untuk bisa bersosialisasi dan berinteraksi,
belajar ilmu untuk bisa menjadi seorang pemimpin sejati
belajar untuk menjadi orang baik yang menerapkan nilai religius moralis intelek profesional
belajar untuk menjadi pribadi yang mampu memberikan manfaat sebanyak2nya bagi orang disekitar kita
belajar untuk bisa membangun dan membanggakan bangsa kita..
apalagi sebagai mahasiswa kesehatan, kita dituntut untuk menjadi pembelajar seumur hidup!!!!
So, tunggu apa lagi???